Type Here to Get Search Results !

Iman dan Logika

Iman dan Logika
oleh: Mhd. Falih Achsan

Sebuah pertanyaan menggelitik pernah dilontarkan oleh sahabat kami. “Kawan, mana yang lebih kau pilih antara hidup di zaman Rasulullah SAW. atau hidup di zaman sekarang ?” tanyanya sambil menatap serius ke wajahku. Dengan refleks aku menjawab “pastinya di zaman Rasulullah SAW., karena kedekatan dengan beliau adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa”. ”apakah benar-benar kita akan beriman kepada beliau kalau seandainya kita hidup di zaman itu ?”sahutnya. Sontak saya kaget dan mulai berfikir setelah itu, karena menerima setiap hal yang datang dari Rasulullah SAW. haruslah senantiasa didasari keimanan yang kuat dan melepaskan setiap belenggu logika. Sedangkan kami di sini sebagai seorang akademisi selalu dilatih untuk menggunakan logika.
Dalam hadits Jibril diterangkan bahwa pada suatu saat Malaikat Jibri datang sebagai seorang lelaki berambut hitam pekat dan berbaju putih bersih kepada Rasulullah SAW. sambil bertanya apa itu Iman, apa itu Islam, dan apa itu Ihsan. Dijawablah oleh Rasulullah SAW. sebagaimana enam rukun Iman, lima rukun Islam serta pengertian Ihsan. Sekembalinya Malaikat Jibril, Rasulullah SAW. menegaskan bahwa lelaki ini adalah Malaikat Jibril yang datang untuk mengajarkan ajaran agama Islam. Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa unsur ajaran Islam terdiri dari tiga hal ini yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Mari kita perhatikan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW. Sejenak kita akan berfikir bahwa dari urutan-urutan pertanyaan tersebut ada rahasia yang luar biasa. Pertama, Iman menjadi unsur utama dan merupakan syarat mutlak diakuinya seorang muslim. Tanpa ada keimanan, setiap amalan yang bernilai ibadah pun tidak punya legalitas. Ia bagaikan nomer ujian yang wajib dimiliki oleh setiap peserta ujian. Tanpanya, seorang peserta ujian meski ia mampu menggarap setiap soal yang dihadapinya namun hasilnya tidak akan diterima karena ia tidak punya identitas keanggotaan sebagai salah satu peserta ujian. Ke dua, setelah mempunyai stempel keimanan, setiap amalan ibadah seorang muslim - yaitu segala hal yang berkaitan dengan rukum Islam – mempunyai legalitas dan bisa diajukan ke proses koreksi apakah benar atau tidak. Dan hasilnya pun sesuai apa yang dikerjakan. Ke tiga, setelah mencapai Iman dan Islam, seorang muslim akan berusaha menaiki tangga ihsan yang merupakan sikap sadar akan keberadaan Tuhan serta pengawasanNya.
Dari sini kita paham betul posisi Iman menduduki peringkat pertama dalam ajaran agama. Ialah yang membedakan antara muslim dan kafir. Dan sudah jelas pula bahwa pokok dari ajaran-ajaran samawi adalah keimanan dan keyakinan akan keEsaan Tuhan serta menyucikanNya dari hal-hal yang tidak layak untuk disandarkan kepadaNya.
Sebagaimana kita tahu bahwa ayat-ayat theologi pun banyak yang turun di awal kemunculan Islam yaitu pada fase Makkah. Hal ini tidak lain untuk membangun pondasi keimanan serta keyakinan akan eksistensi serta keEsaan Tuhan. Demikian kita juga melihat bahwa ayat-ayat hukum tidak lantas turun begitu saja di fase ini tidak lain karena Islam sedang mengajarkan kesadaran serta menanamkan sikap rindu akan kebutuhan beribadah dengan membuka pintu-pintu keyakinan bahwa Allah SWT. lah yang benar-benar layak diTuhankan serta Ialah muara setiap kerinduan. Pendekatan diri kepadanya merupakan esensi pokok dalam Ibadah dan tidak serta-merta dianggap sebuah beban berat yang wajib dipikul. Dengan kekuatan Iman ini pula setiap ritual agama menjadi ringan untuk dikerjakan. Pada fase ke dua kemunculan Islam - yaitu fase Madinah - barulah banyak turun ayat-ayat hukum yang mengatur pola sosial masyarakat serta menanamkan prinsip-prinsip  keadilan. Fase-fase inilah yang sering kita sebut dengan proses ‘tadarruj’yaitu sistem bertahap dalam menetapkan ajaran Islam.
Di sisi lain saat membahas Iman kita akan dihadapkan pada belenggu logika yang terkadang keduanya (iman dan logika) ‘terkesan’ saling bertolak belakang. Bukankah telah masyhur bahwa saat Rasulullah SAW. menceritakan proses Isra’ Mi’raj nya terjadi pemurtadan besar-besaran. Banyak yang menganggapnya orang gila yang mengaku bisa menempuh perjalanan dari Masjid al Haram di Makkah ke Masjid al Aqsha yang berada di Palestina serta melanjutkannya ke Sidrat al Muntaha dalam waktu satu malam dengan berbagai keterbatasan alat trasportasi yang ada pada waktu itu. Dengan keimanan yang lemah seseorang tidak akan melakukan pembenaran akan hal-hal yang dianggap mustahil terjadi saat itu. Meskipun pada akhirnya hal ini bisa dibuktikan kebenarannya dengan kemajuan iptek masa kini yaitu dengan ditemukannya kecepatan cahaya dan berdasarkan keterangan dari Rasulullah SAW. sendiri bahwa proses Isra’ Mi’raj yang dilalui beliau dengan menaiki buroqdan menurut keterangan buroq diciptakan dari cahaya.
Dalam salah satu majelis pembacaan kitab al tashil li ‘ulum al tanzil saat membahas kata ruhdan hal-hal yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera, guru kami Dr. Abd al shobur bercerita bahwa suatu saat ada seorang yang menyatakan ketidak percayaannya terhadap eksistensi hal-hal yang tidak bisa dibuktikan melalui panca indera diantaranya ketidak percayaannya akan adanya Tuhan karena ia meyakini wujudNya tidak bisa ditangkap oleh lima panca indera. Kemudian salah seorang ulama mendatanginya dan mengatakan bahwa ia sedang gila. Seketika ia bertanya “bagaimana anda mengatakan saya gila sedangkan saya merasa masih mempunyai akal?”. “Dan bagaimana anda meyakini bahwa anda mempunyai akal sedangkan anda tidak bisa menangkap keberadaan akal” sahutnya. Seketika ia terdiam dan tidak bisa membantah.
Di sini kita belajar bahwa eksistensi suatu hal terkadang tidak bisa dibuktikan karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang berkembang saat itu. Terkadang pula karena salah mengkategorikan hal tersebut ke dalam salah satu dari tiga alam (yaitu alam materi, alam kejadian, serta alam pemikiran). Dan ingatkah anda pada salah satu bait yang berbunyi ;
مدارك العلوم حس و خبر # و نظر إلهامهم لا يعتبر
Kurang lebih terjemah bebasnya adalah “pengetahuan bisa didapati dengan tiga perangkat yaitu panca indera, kabar berita, serta logika”. Tiga alat inilah yang digunakan untuk membahas hal-hal yang terkategori dalam tiga alam tadi. Hal-hal yang termasuk ke dalam alam materi akan didapati dengan menggunakan panca indera dan yang termasuk ke dalam alam kejadian bisa didapati dengan menggunakan kabar berita. Adapun yang masuk ke dalam kategori alam pemikiran akan didapati dengan menggunakan logika.
Salah dalam mengkategorikan suatu hal kedalam tiga alam serta salah dalam menggunakan masing-masing perangkat yang digunakan untuk membahasnya tidak akan mendapatkan hasil yang tepat sasaran.
Pada akhirnya saat berbicara mengenai rukun Iman yang merupakan objek studi ilmu theologi kita tidak akan membenturkan keimanan yang bisa dibuktikan dengan dalil ‘aqli (bukti-bukti logis) dengan keimanan yang hanya bisa diterima dengan dalil naqli (kabar berita). Teori inilah yang disuguhkan Imam al Asy’ari dengan menggabungkan pendekatan ‘aqli maupun naqli.
Sekian dan semoga bermanfaat....
Cairo, 10 Maret 2017
Muhammad Falih Achsan

Mahasiswa Tingkat Tiga Jurusan Syariah Islamiyyah 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.