Dianne sendiri menghabiskan pendidikannya di sekolah gereja. “Aku dikelilingi doktrinasi soal trinitas. Sepanjang hari, aku melihat salib, para suster, patung Yesus dan Bunda Maria,” tuturnya kepada Islam Religion.
Hingga memejamkan mata, Dianne tiada henti memikirkan konsep trinitas. Konsep yang menjadi titik awal keraguannya dalam mendalami ajaran Kristen. “Yang ada dalam pikiranku, kadang aku tidak berdoa untuk Tuhan yang sebenarnya. Aku berdoa kepada sosok yang mungkin tidak memiliki kekuatan untuk membantuku,” kata dia.
Dianne merasa ragu, setiap kali berdoa dan menyebut nama Bapa, anak dan roh kudus, ia tidak dapat meyakinkan diri apakah doa itu sampai kepada yang Mahakuasa. Ia tidak tahu di mana Tuhan sebenarnya. Ia hanya mengucapkan apa yang diajarkan padanya sedari kecil.
Di ulang tahunnya yang ke-12, sang bunda memberikan Dianne sebuah Alkitab. Sebagai penganut Katolik, ia tidak diperkenankan untuk membaca apa pun selain Katekimus Baltimore.
Namun, Dianne tak mematuhi keharusan tersebut. Ia membaca buku lainnya dengan harapan dapat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang masih mengganjal hatinya. “Aku tahu betul, buku yang wajib dibaca itu sangat berbelit dan sulit dipahami,” ujarnya.
Memasuki usia 20 tahun, Dianne mulai membaca literatur agama lain seperti Hindu dan Buddha. Namun, ia merasa tidak tertarik dengan ajaran-ajarannya. Menurut Dianne, kedua agama itu terlalu eksotis dan tidak memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaannya. “Dalam hal ini, aku coba maksimalkan naluriku untuk mencari kebenaran,” tuturnya.
Lulus kuliah, Dianne melanjutkan studinya ke jenjang S2. Saat itulah, ia pertama kali mendengar tentang Al-Quran.
Seperti kebanyakan warga AS, Dianne tahu Al-Quran itu identik dengan imigran Arab. Dalam bayangannya, imigran Arab itu tak lebih dari sosok misterius yang berusaha merusak peradaban Barat.
“Secara spesifik, aku tidak pernah mendengar tentang Islam. Aku gambarkan imigran Arab itu bermuka masam, memiliki unta dan menetap di padang pasir,” tuturnya.
Studi yang ia tempuh mengharuskan Dianne untuk mempelajari agama lain. Ketika itulah, muncul kembali pertanyaan dalam dirinya. Ia bingung, mengapa Yesus dari Nazareth memiliki mata biru.
Ia coba simpulkan sendiri dengan pengetahuan yang didapat. Hasilnya, Dianne merasa ada sesuatu yang luput. “Melihat sejarah perang Arab-Israel tahun 1967, aku merasa bersimpati dengan bangsa Arab. Walau aku tak tahu alasannya. Ketika memeluk Islam, aku baru sadar, bahwa mereka (Arab) saudara seimanku,” kata dia.
Di usia 35 tahun, Dianne mulai bersinggungan dengan Al-Quran. Itu pun hanya untuk keperluan tugas kuliah. Ia buka Al-Quran, dan membaca Surah Al-Mu’minun ayat 52-54:
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.”
Menurut Dianne, ayat yang ia baca ini mengandung kebenaran yang jelas dan kuat. “Sungguh menyedihkan, ketika manusia menolak kebenaran dan terlibat dalam persaingan yang sia-sia. Di sini aku melihat bangsa, kebangsaan, budaya dan bahasa yang beragama itu pada dasarnya hanya menyembah satu Tuhan, pemilik semesta raya,” kata dia.
Kekagumannya pada ayat Al-Quran belum cukup membuat dirinya meninggalkan agama Kristen. Namun, dalam diri Dianne masih terdapat pergulatan batin yang begitu dahsyat. Ia merasa, Bunda Maria, nama yang ia sering sebut saat berdoa, merupakan sosok yang malang. Perempuan itu difitnah lantaran penafsiran keliru.
“Ibuku selalu mengatakan agar aku berdoa kepadanya. Tapi aku paham, orang tuaku sepertinya tidak sadar kalau sebenarnya Maria diberikan kekuatan oleh Tuhan untuk menanggung fitnah itu. Tuhanlah yang menciptakan Maria, maka kepada Tuhanlah seharusnya seseorang memohon pertolongan,” kata dia.
Dianne mengatakan Yesus, atau Isa dalam bahasa Arab tidak pernah sekalipun mengaku sebagai anak Tuhan. Sebaliknya, ia berulang kali menyebutnya sebagai pembawa pesan. Lagi-lagi, Dianne kembali bingung.
Menurut logika Dianne, pernyataan itu sudah cukup untuk memastikan bahwa Yesus adalah Nabi. “Ia datang atas perintah Tuhannya. Posisinya serupa dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ia ajak untuk kembali pada-Nya, tempat di mana setiap manusia akan kembali,” kata dia.
“Tidak ada masalah dengan perbedaan fisik di antara mereka. Entah Arab, Yahudi, Kaukasus, bermata biru atau coklat, rambut panjang atau pendek. Semua perbedaan itu jelas tidak relevan atas kehadiran mereka sebagai pembawa pesan Tuhan,” paparnya.
Setiap kali memikirkan Yesus—dan setelah ia mengetahui tentang Islam—Dianne merasa ada benang merah yang kuat bahwa Yesus adalah seorang Muslim, seorang hamba yang tunduk kepada Tuhan yang Mahakuasa. “Dalam sepuluh perintah Tuhan disebutkan, Akulah Tuhan, Allahmu, jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku.”
Sementara, lanjut Dianne, dalam Alquran disebutkan dalam Surah Maryam ayat 88-90, “Dan mereka berkata, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak’. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat munkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah-belah, dan gunung-gunung runtuh.”
Menurut Dianne, jika setiap orang mengetahui makna La Ilaha Illallah (tiada tuhan selain Allah) maka dapat diketahui persamaan dalam kedua ayat dari kitab tersebut. Namun, distorsi penafsiran membuatnya berbeda. “Sudah sewajarnya distorsi ini diakhiri,” kata dia
Butuh tiga tahun bagi Dianne untuk mendalami Al-Quran sebelum dirinya untuk menyatakan diri menjadi Muslim. Tentu, ia merasa khawatir dengan perubahan yang akan dialaminya, seperti tidak diperbolehkannya seks bebas dan konsumsi minuman keras. “Musik dan dansa bagian dari hidupku. Bikini dan pakaian serba minim merupakan favoritku,” kenang Dianne.
Lantaran merasa ragu, Dianne mencoba untuk menyambangi Islamic Center, yang jaraknya satu jam dari tempat ia tinggal.
Setibanya di masjid—saat itu tengah berlangsung pelaksanaan shalat Jum’at—tidak ada yang bersedia untuk menemui Dianne. Itu karena, Dianne dianggap sebagai mata-mata.
Di tengah fase akhir, Dianne mengalami cobaan. Ayahnya meninggal karena kanker. Ia berada di sisi ayahnya hingga malaikat mau mencabut nyawa. Ia menangis dan takut. Momentum itu membuat Dianne tak sabar untuk memeluk Islam.
Ia pergi ke Mesir setelah kematian ayahnya. Di Negeri Fir’aun itu ia menemukan kebenaran yang ia cari; Tuhan yang satu, kekal abadi, yang tidak pernah dilahirkan ataupun memiliki anak.
“Dalam Al-Quran disebutkan, orang-orang yang terbaik adalah orang-orang yang shaleh. Sebelum anda menjadi shaleh, anda harus mencari siapa Tuhan itu,” kata Dianne yang segera belajar bahasa Arab guna mempermudah dirinya mengkaji Al-Quran.
Dianne mengaku semenjak ia mempelajari Al-Quran, ia tidak lagi ingin mengejar kemewahan dunia. Hobi belanja yang biasa ia lakukan mulai dikurangi. Ia pun ikhlas bila teman dan keluarga meninggalkannya karena statusnya sebagai Muslim. “Jika Tuhan memilih untuk membawa mereka pada Islam, maka jadilah. Tapi aku tahu, bahwa Tuhan memberi apa yang dibutuhkan, tidak kurang dan lebih.”
Kini, ia telah menjadi Muslim. Namun, ia tidak egois. Ia tak ingin menikmati sendiri hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diberikan padanya. Ia mengharapkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga memberikan hidayah serupa kepada masyarakat Amerika Serikat.
Dianne mengatakan masyarakat Amerika Serikat sudah terlalu stres dengan situasi duniawi. Sudah saatnya mereka untuk menuju kebenaran hakiki, kebenaran yang selama ini dihina, ditolak dan diacuhkan.
“Aku peduli dengan masa depan Amerika Serikat. Aku berdoa kepada Allah Yang Mahakuasa untuk memberikan kesempatan kepada setiap warga Amerika Serikat untuk menerima pesan dari keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan cara sederhana,” pungkasnya.
sumber :klik